mushaf terindah di dunia
MUSHAF TERINDAH DI DUNIA
Mushaf Istiqlal yang dibuat HM. Faiz
Abdul Razaq diyakini banyak orang sebagai mushaf terindah di dunia. Bill
Clinton sampai berhasrat menyaksikan langsung. Kerajaan Saudi Arabia pun
mengundangnya ke istana untuk jamuan khusus para khattat.
Buah jatuh memang
tak jauh dari pohonnya. Setiap anak pun mewarisi bakat orangtuanya. Begitulah
bakat yang dimiliki Ustadz Faiz. Dirinya telah mewarisi bakat yang dimiliki
abahnya. “Al ilmu nurun. Ilmu itu nurun, jadi bukan ilmu itu cahaya. Ayah saya
kaligrafer otodidak, dan bakatnya menurun pada saya,” kelakar sulung dua belas
bersaudara ini.
Ustadz Faiz
adalah seorang kaligrafer “emas” yang pernah dimiliki Indonesia. Dia dilahirkan
di desa Lengkong Ulama Tangerang Prov. Banten pada 11 November 1938. Muhammad
Faiz menekuni khat sejak usia dini. Dia Putra dari seorang pioneer khat di
Indonesia, KH. M. Abdul Razzaq (alm). Dari beliaulah dirinya belajar. Sejak
usia 15 tahun Faiz sudah membantu sang abah menulis kitab-kitab berbahasa Arab
atau tulisan Arab bahasa Melayu, Sunda, Jawa dan Madura (tulisan pego/Melayu
Arab).
Sejak kecil
Faiz tidak diajarkan abjad ABCD. Abahnya hanya mengajarinya huruf Arab: alif,
ba, ta, tsa. Sejak bangun tidur, dia diajak shalat, lalu mengaji.
Kadang-kandang orangtuanya agak keras mendidiknya. “Kalau tidak hafal saya
dicambuk. Tapi semua itu saya kenang indah sekali sampai sekarang,” ucapnya
lirih menahan airmata. “Apa yang saya rasakan sekarang adalah buah kesungguhan
didikan orangtua,” tambahnya.
Bakat Faiz
baru terlihat ketika dirinya berusia 14 tahun dan duduk di bangku SMP. Sebab
nyatanya, tulisan Faiz saat masih duduk di bangku MI sangatlah jelek. Bahkan
tulisannya sempat diejek murid ayahnya. Namanya Abdullah Alatas, seorang
khattat yang bekerja di Departemen Penerangan RI bidang Seksi Bahasa Arab.
Suatu ketika dia berkunjung ke rumahnya untuk setor tulisan kepada KH. Abdul
Razaq. “Saya dilecehkan. Dia memanggil saya, lalu meludahi tangan saya sambil
berkata, kamu gak ada potongan jadi penulis khat,” ucapnya kesal.
Perasaan
jengkel itu dipendamnya hampir lima tahun lamanya. Tapi, ejekan itu pula yang
melecutnya untuk lebih giat belajar khat. “Pada akhirnya saya menyadari bahwa
dirinyalah yang memacu semangat belajar saya,” ujarnya. “Hingga sekarang pun,
setelah shalat saya masih mendoakan dirinya agar mendapat tempat di sisi-Nya,”
tambahnya.
Tahun 1952,
keluarganya pindah ke Malang. Abahnya yang tadinya bekerja sebagai pegawai
negeri, lebih memilih keluar dan menjadi penulis khat untuk penerbit Salim
Nabhan Surabaya. Karena permintaan dari penerbit yang begitu banyak dan butuh
cepat, Abahnya meminta Faiz untuk membantunya. “Saya pun mulai belajar khat
pada Abah. Dan intinya adalah praktek,” tuturnya. Sejak itulah dirinya
berkembang cepat dan matang menulis khat.
Ketika duduk
di bangku SMP kelas 3 bagian ilmu pasti dan ilmu alam, kepala sekolah
memanggilnya dan mengatakan, “Faiz, melihat potonganmu, saya punya firasat kamu
gak ada potongan di umum.” “Baru empat bulan sebagai siswa kelas 3, saya
disuruh ikut ujian PGAP dan lulus dengan hasil sangat memuaskan. Jadi saya
meloncat dua tahun,” paparnya.
Faiz pun
lantas melanjutkan studinya di SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) di Malang.
Mengingat banyaknya guru-guru hakim agama yang dibutuhkan, guru-gurunya di SGHA
meminta dirinya untuk langsung mengikuti ujian. Padahal dirinya baru setahun
sekolah. Para guru memilih dirinya karena dianggap paling menonjol. “Saya pun
kembali meloncat dua tahun,” ucapnya. Setelah lulus tahun 1958, Faiz pun
melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Gontor. Lagi-lagi, waktu pendidikan di
Gontor yang harus ditempuh selama 6 tahun, hanya dilaluinya dalam waktu 2 tahun
8 bulan.
Selama
mondok itu pula, Faiz masih tetap membantu abahnya menulis khat untuk penerbit
Salim Nabhan Surabaya. Al-Qur’an yang sudah rusak, diapreteli untuk kemudian
ditusir. “Yang kurang hitam saya hitamin. Wawu yang buntu saya bolongi pakai
tinta putih,” ujarnya. Akibat ulahnya itu, dirinya sempat dianggap stress oleh
santri lainnya dan diadukan kepada Kyai Imam Zarkasi.
Tapi sejak
laporan itu, Faiz malah diangkat menjadi santri “khusus”. Dia tidak lagi makan
di dapur pesantren dengan menu 4 T: tempe, tahu, tewel dan terong. Karena
dirinya telah diangkat sebagai guru khsusus khat. “Selain nyantri, saya juga
guru,” katanya sambil senyum dikulum. Di antara buku pelajaran Gontor yang
ditulisnya, adalah buku wajib al-Fiqhul wadlih karangan Prof. Dr. mahmud
Yunus.
Selain
belajar pada ayahnya, Faiz juga belajar khat pada ‘amidul khattathin Sayyid
Ibrahimi dari Mesir. Dia adalah guru besar para kaligrafer. Uniknya, Faiz
belajar melalui media surat menyurat.
Lulus dari
Gontor Faiz mulai mengajar bahasa Arab, Khat dan Tarikh di MAN Bangil,
Pesantren Wachid Hasyim, Persis, Sidogiri dan YAPI. Faiz menikah dan tahun 1973
dan memiliki 3 anak. Tapi hasil dari mengajar, masih belum mencukupki
kebutuhkan hidupnya. Tahun 1979, dirinya mendapat beasiswa belajar di King
Abdul Aziz University, Jeddah mengambil Fakultas Tarbiyah. “Saat kuliah saya
malah dapat menghidup keluarga. Sebab penghasilan saya waktu itu sampa 5 ribu
real,” tutur pria yang pernah juara II Khat Tingkat Internasional di Jeddah
Saudi Arabia tahun 1979 ini.
Selain
belajar, dirinya juga bekerja sebagai khattat/desainer di Al-Farouqi
Advertising Jeddah, Al Itimad Print Press Jeddah dan Deplu Kerajaan Saudi
Arabia di Jeddah. Faiz pun berkesempatan mengunjungi Sayyid Ibrahimi di Mesir
dan mendapatkan ijazah langsung darinya. Faiz pun mengasah kemampuan khatnya
dengan master-master khattat dari Turki, Iran maupun Mesir.
Sepulang
dari dari Saudi Arabia, Faiz mendapat ujian begitu berat. Dirinya terserang
penyakit pembuluh darah selama delapan bulan. Semua miliknya ludes untuk
berobat. Termasuk TV, video, radio hingga perhiasan istrinya habis terjual.
Dalam kepedihan itu Faiz mulai instrospeksi dan berdoa. “Ya Rabb, saya bekerja
di tanah suci, saya kerja halal, menulis dan menulis. Kenapa saya dicoba
begini,” renungnya waktu itu. “Saya hampir tidak kuat waktu itu,” tambah
Alumnus Pesantren Tinggi Ilmu Fiqh dan Dakwah Bangil Jatim itu.
Akhirnya di
suatu malam, dirinya mendapatkan suatu jawaban. Dirinya teringat sebuah hadits,
“Barangsiapa yang menyimpan ilmu, maka kelak pada hari kiamat Allah akan
menjadikannya kendali dari neraka.” “Saya pun menangis. Ternyata saya tidak
mengamalkan ilmu saya,” tukasnya. “Ilmu khat, serta ilmu yang saya peroleh dari
mondok dan kuliah maupun madrasah dulu harus diamalkan,” tekad Penyuluh Utama
Khat di Kanwil Kementerian Agama Prov. Jatim ini.
Dia pun
mulai kembali merambah karir di dunia khat dan mengajar. Tahun 1984 dirinya
dipanggil oleh darul fikr, Beirut perwakilan Jakarta sebagai penerjemah dan
korektor. Faiz juga diangkat sebagai pegawai Saudi Arabia sebagai Dai/dosen
bahasa Arab yang diperbantukan di beberapa pesantren di Jatim oleh Atase Agama
Kedubes Saudi Arabia di Indonesia.
Tahun 1991,
dirinya diminta abahnya untuk menggantikan dirinya menyelesaikan proyek mushaf
Istiqlal. “Saat itu ayah sudah udzur dan sakit-sakitan. Saya sempat menolaknya,
tapi abah tetap bersikukuh agar saya menggantikannya,” ujarnya. Amanah itu
segera dilaksanakaannya. Sebagai desainer kaligrafi, Faiz dibantu 5 orang
khattat. Sedangkan untuk ornament dia dibantu para seniman desain grafis ITB
dibawah koordinasi Prof Dr Ade Firus dan Drs. A. Haldani.
Tak
disangka, mushaf Istiqlal rampung dengan begitu indahnya. Sampai-sampai berita
keindahannya didengar oleh Presiden Amerika Serikat waktu itu, Bill Clinton.
Tahun 1995, Clinton datang ingin menyaksikan langsung keindahan mushaf yang
dianggap terindah di dunia itu. Faiz pun bertemu Clinton dengan didampingi
Menag RI Tarmizi Taher.
Setelah itu,
Faiz mulai menulis Mushaf Sundawi dan melaksanakan proyek kaligrafi masjid.
Diantaranya, Masjid Nasional Istiqlal Jakarta, Masjid At-Taqwa Sririt Bali
Utara, Masjid Agung Bengkulu, Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, Masjid
Baiturrahman PKT Bontang Kaltim, Masjid Agung Tuban, Masjid Agung Nurul Falah
Kaltim, Masjid Islamic Center Samarinda Kaltim, Masjid Agung Bangkalan Madura,
maupun Masjid Baitul Hamdi Pemprov Jatim.
Tahun depan,
Ustadz Faiz menjadi satu-satunya khattat dari Indonesia yang diundang oleh
Kerajaan Saudi Arabia untuk menerima penghargaan bersama para khattat seluruh
dunia. “Intinya dalam menulis khat itu, adalah keikhlasan,” ujarnya. “Hasil
karya mencerminkan jiwa sang pembuat. Seindah apa pun karya itu, tapi jika tak
memiliki ruh, tetap seperti benda mati. Ikhlas adalah ruhnya,” tambah Dewan
Hakim MTQ nasional ini.
Komentar
Posting Komentar